Escrever

Escrever sempre foi uma paixão de há muito tempo, a ideia de colocar as minhas ideias, os meus pensamentos ou as minhas histórias em algum local de partilha, sempre foi um objectivo pessoal. Sempre…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Dari Orang Jepang ke Norma Sosial

Itu parafrasa. Kurang lebih itu yang aku tangkap dari celetukan ibuku tadi siang. Sepanjang perjalanan aku diam saja. Tapi otakku sebenarnya sibuk memikirkan ide tadi. “Hah, menarik juga!”

Aku pernah membaca konsep ‘Guilt-shame-fear Spectrum of Culture’ sekilas. Aku belum berniat menggali lebih lanjut konsepnya, di sini aku ingin mengeksplorasi dahulu konsep itu dengan pemikiranku sendiri.

Apa sih konsep ‘Guilt-shame-fear Spectrum of Culture’ ini? Intinya ini adalah cara kultur/budaya dalam suatu masyarakat untuk menjaga kestabilan sosialnya.

Memangnya kenapa kestabilan sosial harus dijaga? Simpel, menjaga dari konflik. Masyarakat yang stabil memungkinkan terjadi interaksi sosial positif yang lancar. Jadi gampang mendapat sumber daya, memanfaatkan, lalu menjualnya! Muahahahaha *capitalism laugh*

Ehem, oke, sekarang ayo membahas kontrol sosial!

Kontrol sosial dalam masyarakat berbentuk norma. Ayo, ingat-ingat pelajaran norma di pelajaran PPKn! Norma adalah aturan baik tertulis/tidak tertulis yang berlaku dalam sebuah masyarakat dan sifatnya memaksa. Norma biasanya berasal dari moral/etika, budaya masyarakat, agama, atau pemerintah. Dengan terlaksananya norma-norma yang ada, diharapkan interaksi masyarakat berjalan lancar dan meminimalisir terjadinya konflik.

Supaya norma bisa berjalan dalam masyarakat, dibutuhkan cara memaksa masyarakat untuk mematuhinya. Cara yang aku bahas kali ini, menggunakan salah satu atau kombinasi dari 3 unsur budaya, guilt (penyesalan), shame (malu), atau fear (takut). Hal-hal ini mendasari motif anggota masyarakat untuk tidak melanggar norma.

Bagaimana cara kerja rasa menyesal, malu, dan takut menjaga kestabilan sosial?

Pertama, guilt atau rasa menyesal. Motif guilt society (masyarakat yang memiliki kontrol sosial menyesal sebagai budayanya) menaati norma adalah agar terhindar dari perasaan menyesal. Perasaan menyesal ini datang karena suatu perbuatan menentang ego seseorang yang selalu ingin melakukan hal yang benar. Bisa juga karena bertentangan dengan nilai-nilai hidup yang dianut seseorang.

Contoh, orang yang mencuri, lalu dia merasa menyesal karena mencuri itu dilarang dalam agamanya. Karena dia akan mendapat dosa yang dapat membuatnya disiksa di neraka. Atau dia menyesal karena dia tahu mencuri itu mengambil hak orang lain yang bukan miliknya. Hal itu tidak adil, sehingga tidak benar.

Maka dari itu, guilt society memberikan penekanan pada norma sebagai bagian dari kebenaran umum dan nilai hidup. Guilt society memusatkan kontrol sosialnya terhadap individu.

Kedua, shame atau rasa malu. Rasa malu ini bukan rasa malu sementara seperti ketika ada belek di matamu. Tetapi rasa malu sebagai hukuman sosial dari masyarakat. Rasa malu yang membuatmu tidak punya muka di depan tetangga, digunjingkan di belakang, dan hal-hal nggak enak lainnya. Itu rasa malu yang aku maksud.

Misalnya, Faris dikeluarkan dari sekolah karena ketahuan mengedarkan ganja. Ibunya membelanya mati-matian agar dia tidak dimasukkan ke tempat rehabilitasi anak. Tetangga-tetangganya yang mengetahui jadi mencibir dan mengecap Faris sebagai sampah masyarakat. Ibu Faris menjadi jarang mengikuti arisan karena malu dengan teman-temannya yang memiliki anak-anak yang ‘normal’.

Shame society menekankan bahwa masyarakat adalah suatu entitas yang setiap bagiannya berhubungan satu sama lain. Satu bagian akan mempengaruhi bagain lain bila terjadi disfungsi. Karena itu, bagian satu sama lainnya harus saling menjaga agar tidak terjadi disfungsi sosial. Semua bagian masyarakat turut mengambil andil dalam pelaksanaan kontrol sosial.

Yang ketiga, fear atau rasa takut. Biasanya rasa takut ini berasal dari konsekuensi pelanggaran yang menghilangkan rasa aman individu bahkan dapat membahayakan hidup. Pihak yang memberikan konsekuensi pada pelanggar biasanya otoritas/pemerintah. Kontrol sosial dari rasa takut ini menurutku adalah yang paling mudah diterapkan karena memanfaatkan insting bertahan hidup manusia.

Misalnya Sung yang tinggal di Korea Utara. Warga negara diharuskan setia pada negara. Mereka tidak boleh menyampaikan apalagi menyebarkan kritik yang menyerang pemerintahan. Orang yang ketahuan memiliki niat melawan pemerintah dapat mendapat ‘Hukuman 7 Turunan’. Ini dapat menyebabkan seluruh keluarga pelaku turut mendapatkan penyiksaan di penjara negara. Walaupun Sung kecewa terhadap rezim Korea Utara yang menurutnya korup, dia tidak membicarakan pemikirannya. Dia takut hal itu akan membawa dia dan keluarganya kehilangan kesempatan hidup yang nyaman karena dipenjara.

Otoritas menjadi inti penting dalam pelaksanaan kontrol sosial ini sebagai pihak yang memoderasi dan menerapkan norma. Bisanya pemerintakan yang otoriter mengutamakan masyarakat yang takut (fear society) untuk mengatur masyarakatnya. Beruntung di zaman sekarang, budaya takut sebagai budaya utama dalam suatu masyarakat sudah jarang ditemukan.

Perbedaan utama dari tiga unsur budaya kontrol sosial tadi adalah berdasarkan pemberi konsekuensi pelanggaran norma.

Guilt Society → Konsekuensi dari diri sendiri

Shame Society → Konsekuensi dari masyarakat

Fear Society → Konsekuensi dari otoritas/pemerintah

Karena berupa spektrum, maka karakteristik setiap budaya berupa kombinasi variasi dari tiga unsur kontrol sosial. Suatu masyarakat dapat memiliki budaya malu dan takut sekaligus. Dua masyarakat bisa memiliki budaya yang sama dengan kombinasi intensitas yang berbeda. Juga bisa masyarakat yang hanya memakai budaya penyesalan sebagai kontrol sosial.

Nah, norma dan kontrol sosial udah dibahas. Lalu, bagaimana hubungannya dengan orang Jepang? Atau budaya masyarakat di Jepang? Ayo, kita coba menganalisis budaya masyarakat Jepang, terutama budaya kontrol sosialnya.

Disclaimer! Aku bukan orang Jepang dan belum pernah ke Jepang. Segala informasi yang aku keluarkan di sini murni hasil ke-sotoy-an dan pengetahuanku tentang kultur Jepang. Cmiiw~

Sebagaimana banyak negara Asia lainnya, Jepang masih memiliki budaya shame/malu. Malu ketika tidak memiliki pencapaian. Ketika menjadi beban keluarga. Aku yakin budaya malu ini masih ada dari cerita ibuku tentang orang-orang Jepang yang memiliki harga diri yang tinggi.

Tetapi masyarakat Jepang relatif lebih individualis dari pada negara Asia lain yang cenderung komunal, seperti Indonesia. Karena itu, shame culture di Jepang sudah berkembang menjadi guilt culture. Mereka merasa bersalah jika mengalami kegagalan atau menunjukkan ketidakmampuan.

Menurutku, masyarakat Jepang mengutamakan guilt culture. Aku melihat pendidikan sekolahnya menanamkan nilai-nilai kemandirian dan tanggung jawab yang besar. Dan kenyataan bahwa kamu bisa meninggalkan tas berisi dompet dan ponsel untuk menandai meja yang direservasi membutuhkan disiplin populasi yang mengagumkan.

Salah satu hal yang menurutku menonjol dari Jepang adalah, budayanya yang memiliki gelembungnya sendiri. Perkembangannya terjadi secara internal dalam tempo yang sesuai dengan keadaan masyarakatnya. Pengaruh budaya eksternal terhadap dinamika budaya lokal tidak besar. Karena itu budaya masyarakat Jepang cenderung stabil.

Budaya masyarakat dan stabilitas sosial yang kuat menyebabkan konservasi budaya mudah dilakukan. Positifnya, budaya yang bagus nggak akan hilang dengan cepat hanya karena terpengaruh budaya lain. Negatifnya, budaya-budaya yang sudah nggak relevan bahkan nggak baik lagi menjadi susah hilang begitu saja.

Kesimpulan. Manusia itu keren. Iya, keren. Manusia bisa membangun konsep yang tidak berdasarkan benda nyata, mempercayainya bersama, dan voila! Jadilah konstruksi sosial. Nenek moyang kita pasti nggak terpikir anak cucunya akan mendarat di bulan atau membuat manga Attack on Titan yang fenomenal.

Budaya, hasil dari konstruksi sosial manusia juga keren. Beda tempat, beda budaya, beda pula orangnya. Belajar hal-hal kayak gini membuatku semakin apresiatif terhadap keberagaman. Berbeda-beda itu menarik. Banyak fenomena-fenomena yang kalau dibedah dengan pisau antropologi, arkeologi, filsafat, atau apapun itu akan wuush! (baca: mindblowing).

Bila manusia itu keren, maka Tuhan jauh lebih keren lagi! Sungguh hebat Tuhan yang menciptakan manusia dengan segala keunikannya. Dengan mempelajari manusia, secara nggak langsung kamu sedang mengagumi ciptaan-Nya. Aku harap kamu dapat menikmati ilmu pengetahuan hingga dapat mendekatkan dirimu dengan Tuhan (mengasumsikan kamu bukan ateis atau agnostik).

Sebagaimana makhluk hidup, tulisan ini tidak sempurna. Bila kamu memiliki kritik, saran, atau pendapatmu sendiri mengenai topik dalam tulisan ini, silakan tinggalkan private note atau hubungi aku lewat Twitter, @modajenna. Aku sangat mengapresiasi masukan apapun itu.

Thank you and have a good day!

Add a comment

Related posts:

Abstract Planes

More than a month ago, I discovered Abstract Planes. I’ve spent almost every day with them ever since. Like many things in life, Abstract Planes were discovered by accident. I was trying to create…

Virtualenv for Python projects

Virtualenv is a tool that lets you create an isolated Python environment for your project. It creates am environment that has its own installation directories, that doesn’t share dependencies with…

My Body is a Party

Eating the food I give is like chewing glass. Their gums bleed. Water isn't enough to make the journey down the throat any easier. Like a woman with an overdue pregnancy awaiting release, all parts…